Omnis Res Est Omnia

Every thing is Everything


Berbicara tentang peradaban sering kali kita merujuk pada sistem kehidupan manusia. Sistem ini didukung oleh berbagai mekanisme yang memudahkan kehidupan. Arkeolog mengklasifikasikan masa manusia purba berdasarkan teknologi dan sistem sosial yang berlaku. Peradaban kuno besar, seperti  Mesir Kuno, Babilonia, Cina dan lainnya menjadi tersohor karena warisannya pada dunia. Mesir, misalnya, meninggalkan sistem penanggalan, sementara Babilonia membangun pondasi ilmu sejarah.


Tampak gamblang bahwa kunci peradaban berada di tangan ilmu pengetahuan. Tetapi, hingga kini belum banyak perempuan yang memberikan sumbangsih besar bagi kunci peradaban ini. Gersangnya semesta ilmu pengetahuan dari ilmuwan perempuan menunjukkan bahwa ada katup peradaban yang belum dibuka.



Perkembangan ilmu pengetahuan modern, khususnya sejak awal abad 20, antara lain dapat diukur melalui pencapaian penghargaan Nobel. Sejak 1901, penghargaan ini telah dianugerahkan kepada 817 ilmuwan dan 23 lembaga. Dari jumlah itu, hanya ada 40 ilmuwan perempuan yang pernah meraih Nobel. Salah satu diantaranya, Marie Curie, seorang ilmuwan berkebangsaan Polandia. Ia mendapatkan  nobel pertama pada 1903 di bidang fisika secara kolektif bersama suaminya Pierre Curie dan dua rekannya. Delapan tahun kemudian, ia mendapatkan Nobel untuk kedua kalinya bersama  née Sklodowska di bidang kimia. Tidak hanya itu, putrinya, Frédéric Joliot, juga  pernah menyabet penghargaan Nobel.



Keluarga Curies telah memberi teladan pada dunia tentang sebuah peradaban keilmuan yang sukses dibangun sejak dalam tataran keluarga. Dalam keluarga, ibu memegang kendali dalam pedagogi anak. Karena itu, perempuan berhak mendapat pendidikan tinggi, pertama-tama, untuk kepentingan terbangunnya peradaban kecil di rumahnya. Di luar kehidupan domestik, realita kekinian juga menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja di sektor publik cenderung untuk menjadi tenaga pendidik di berbagai lembaga formal. Tetapi, lebih dari itu, perempuan bisa mencapai pucuk pohon peradaban, yakni menjadi ilmuwan.



Tidak banyak ilmuwan perempuan yang masyhur berkat karyanya. Di berbagai bidang ilmu, sains maupun sosial-humaniora, deretan nama ilmuwan didominasi oleh laki-laki. Ini mengindikasikan ada ketidakmerataan kesempatan untuk menjadi ilmuwan, khususnya dalam proses pendidikan.  Sejatinya tidak ada perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki dari segi kapasitas intelektual. Propababilitas perempuan untuk menjadi ilmuwan sebenarnya sangat besar.



Sedikitnya jumlah ilmuwan perempuan bisa jadi sangat dipengaruhi oleh stereotipe masyarakat untuk membatasi gerak perempuan di ruang publik. Perempuan memang harus pintar, tapi tidak sekadar untuk mendidik anak. Melainkan juga untuk tampil memberi kontribusi di bidang ilmu pengetahuan guna membangun peradaban. Perempuan bisa menjadi ilmuwan dengan prakondisi  dibebaskan dari berbagai stereotipe yang dapat membatasi pilihannya.



Sejumlah negara Barat telah mulai menyadari ini. Antara lain, Inggris dan Amerika telah membuat program khusus untuk mencetak ilmuwan perempuan, mengundang para perempuan dari dalam maupun luar negeri. Jika saja angka  ilmuwan perempuan dan karyanya dapat meningkat, itu berarti semakin banyak katup kemanfaatan yang dibuka bagi peradaban manusia.



Untuk sampai pada impian itu, tentu butuh energi besar. Pertama, mengubah budaya yang melahirkan stereotipe tidak menguntungkan bagi perempuan. Kedua, memperbaiki sistem pendidikan yang berkapasitas melahirkan ilmuwan. Kalau dibayangkan, banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan. Tampak nyaris mustahil ini dilakukan di tengah keterpurukan intelektual dan moral di Indonesia. Tapi kata Gus Dur, ‘mengapa tidak bermimpi besar, tidak berangan-angan jauh’.

0 comments:

Post a Comment

Hospes Libro