Omnis Res Est Omnia

Every thing is Everything

"Wahai angin sampaikan salamku padanya
Tanyakan padanya apakah ia masih mau berjumpa denganku?
apakah ia masih memikirkan diriku?
bukankah telah kukorbankan kebahagiaanku demi dirinya?
hingga diri ini terlunta-lunta, sengsara di padang gersang dunia

Wahai kesegaran pagi yang murni dan indah!
maukah engkau menyampaikan salam rindu pada kekasihku.
belailah rambutnya yang hitam nan berkilau
untuk mengungkapkan dahaga cinta yang memenuhi hatiku

“Duhai betapa dunia akan bermuram durja, Bila tak engkau Pernah berkunjung ke rumah seorang kekasih, Dan memiliki seorang kekasih untuk menghibur”


Pada suatu malam kita bertemu, pada sebuah gubuk kecil disamping danau kunang-kunang. Kita saling memandang pada dunia yang jauh dibawah horizon, seolah kamu dan aku telah terpisah oleh ruang yang tak kunjung menyempit. Kita seolah tahu dimana keabadian itu, tempat hati dan jiwa kita terbaring. Aku sadar aku mencintaimu. Bukan aku menyesal karena mencintaimu, aku hanya sedih, aku tak punya jawaban itu.



Aku laksana singa yang mencari mangsa di padang belantara, diantara binatang-binatang liar. Aku menjelajah mencari kebahagian yang hilang bersama roda zaman yang tak kembali. Kekayaan mungkin adalah buah segar nan menyegarkan dari surga yang dilimpahkan diatas hamparan keringnya padang gurun dunia. Namun apalah arti kekayaan jika Cinta yang menyebabkan aku merindu tak kumiliki. Walaupun emas, permata, intan, dan berlian bergelimang, namun semua itu sia-sia.


alone in the sea of silence
i put my ears to a seashell i had picked up
if i stand still and listen
i can hear it, a message from you

the feelings that i couldnt say
that i had written in the sand
are swept away by the waves

hello, do you hear me ?
im still here, at the place where this story began
even if the promise alone is the only thing repeated
I Live forever in your memories

Sinking in the sea of memories
i will travel this eternity
from here i can see the tiny earth
in the endless cosmos, i'll be thinking of you

my blue hometown shines through the gap between the clouds
as i disappear into the horizon
no matter how much time goes by
I Live forever in your memories

when the planets fall
You and I will pulled towards one another
and will surely be able to meet again
at the place where we made that promises

hello im here,
following the electrons to the place where it began
the promise alone repeats itself
i'll continue to journey so that i may meet you

i'll flow down from the sky
to the place this story began
at that time we'll surely be able to meet again
because i'll reach to where you are on that blue planet


Berbicara tentang peradaban sering kali kita merujuk pada sistem kehidupan manusia. Sistem ini didukung oleh berbagai mekanisme yang memudahkan kehidupan. Arkeolog mengklasifikasikan masa manusia purba berdasarkan teknologi dan sistem sosial yang berlaku. Peradaban kuno besar, seperti  Mesir Kuno, Babilonia, Cina dan lainnya menjadi tersohor karena warisannya pada dunia. Mesir, misalnya, meninggalkan sistem penanggalan, sementara Babilonia membangun pondasi ilmu sejarah.


Tampak gamblang bahwa kunci peradaban berada di tangan ilmu pengetahuan. Tetapi, hingga kini belum banyak perempuan yang memberikan sumbangsih besar bagi kunci peradaban ini. Gersangnya semesta ilmu pengetahuan dari ilmuwan perempuan menunjukkan bahwa ada katup peradaban yang belum dibuka.



My Eternity

Even if i stand to lose everything
i will preserve your memory for the tomorrows yet to be
come what may, i could breathe my last breath
 and the world be crumbling into oblivion.
there are ways to kept a thought alive and i know one that work for sure.
indestructible crystal, even in the sea of chaos, it never loses it is shine.

And i'll become an eternal epitaph
your memory will survive for eternity within crystal tomb.
that's shall be my legacy, and my atonement.
but most of all ...  my final hope.








 "Bukan tentang kami, kita, kalian, atau mereka. Tapi cukup saya saja."

Barangkali kita tercenung begitu mendapati Felix Siauw, seorang pendakwah Islam yang sedang naik daun, lebih memilih dipanggil sebagai “motivator” ketimbang “ustad”. Felix memang tidak punya “setelan” ustad. Wajahnya bersih tanpa kumis atau pun jenggot lebat. Ia tidak pernah menggunakan peci atau sorban, sehingga kepalanya yang hanya ditutupi rambut cepak dapat menghirup udara bebas . Alih-alih berbusana gamis atau baju muslim, ia justru lebih sering memakai kemeja batik. Dalam ceramah-ceramahnya, Felix selalu gencar mempropagandakan “hidup sukses dengan syar’i”. Maka, wajarlah bila ia memilih gelar “motivator”.
Gimmick segar inilah yang ditawarkan oleh Inspirasi Iman, talkshow yang menampilkan Felix sebagai narasumber tetap dan Oki Setiana Dewi sebagai pemandu acara, yang tayang di TVRI setiap hari Kamis pukul 23.00. Tayangan ini biasanya dibuka dengan penampilan sebuah band yang memainkan musik lirih namun ampuh untuk mengukuhkan suasana yang sedang dibangun (dalam salah satu episodenya, seorang kibordis memainkan sebuah nomor dari Led Zeppelin, Stairway to Heaven, lagu yang kerap diasosiasikan dengan satanisme). Selepas band bermain, Felix mulai berceramah. Cara bertuturnya berapi-api, penuh dengan bunga kata yang membesarkan hati.

Berbeda dari ustad-ustad pada umumnya yang tidak telaten bercerita dan menutupinya dengan eksploitasi seruan-seruan moral secara banal, Felix tahu benar bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pencerita. Ia pandai mengelaborasikan pesan-pesan motivasional di dalam cerita sehingga pemirsa tidak merasa digurui, namun malah terpikat dalam suasana haru dari adegan-adegan peristiwa yang ia lukiskan dengan kata-kata.
Tapi Plato pun tahu, salah satu jenis orang yang patut dicurigai adalah orang yang mahir bermain dengan kata-kata. Di balik ceramah-ceramahnya yang mempesona, Felix mengidap kesesatan berpikir akut. Seruannya pun sering bertumpu pada asumsi tanpa dasar. Simak saja ceramah Felix dalam Inspirasi Iman episode “Sudah, Putusin Aja!” (21 Maret 2013):


Kita bercengkerama dalam tiga hal, masa lalu, kini dan depan. Suatu sore kita berteduh dari guyuran hujan di tengah perjalanan menyusuri sungai. Ditemani rintik hujan yang ritmis, aku terdorong memantik pembicaraan tentang yang sudah terlewat, tentang bagian dirimu sebelum aku datang.

Masa adalah jarak. Ketika kita membicarakan masa lalu, rasanya wajahmu menjauh puluhan meter. Suaramu dan suaraku tertelan keriuhan zaman. Di mataku, masa lalumu adalah ilusi. Serupa dongeng sebelum tidur yang diam-diam tertanam kuat dalam alam bawah sadar.

Tiap kali tabir masa lalu terbuka, seperti ada gulungan ombak yang siap menenggalamkanku hidup-hidup. Sebenarnya aku bisa saja tak peduli pada masa lalumu. Tapi kalau aku benar mencintaimu, aku harus menyiapkan dada yang lapang untuk menerima sepenuhnya dirimu, termasuk masa lalumu.

Hospes Libro