Omnis Res Est Omnia

Every thing is Everything




Lima Oktober 94 tahun silam, kongres Boedi Oetomo (BO) tidak banyak berarti tanpa 1200  orang yang menyatakan diri sebagai anggota dari berbagai penjuru Jawa. Berkat iuran anggota dari daerah, BO bisa beroperasi. Sampai akhirnya iuran itu tak sederas pada mulanya, BO menyerahkan kebebasan pada pengurus di daerah. Dalam kongres tadi, kemajuan berpikir Tjipto Mangoenkoesoemo lahir mendahului zamannya. Ia mengharap BO menjadi partai politik berdasarkan ‘persaudaraan nasional tanpa pandang bangsa, jenis kelamin, atau kepercayaan’.[[1]] Pemikiran ini kelak menjadi milik banyak pemuda modern. Ada dua pelajaran berharga dari BO, pentingnya daerah dan pemikiran radikal kaum muda.

Orang daerah merasa senantiasa menjadi pinggiran dari Jakarta. Taukah, bahwa sejatinya, Jakarta adalah pinggiran dari Eropa dan Amerika – pusat dunia?[[2]] Saya tersentak membaca analisis tajam Daniel Dakhidae itu dalam salah satu edisi Jurnal Prisma. Saya merasa tiba-tiba terhubung dengan seluruh dunia. Saya lantas menerawang, tanpa Yogya, Manokwari, pulau We, atau hilang salah satu saja di antaranya. Setiap daerah punya sumbangsih besar terhadap wajah Indonesia. Sebab ternyata, pilar-pilar penting Indonesia ada di daerah, bukan di pusat.
Patut disayangkan, wajah Indonesia hari ini adalah kekerasan di Sampang, tawuran pelajar antar SMA, isu terorisme di kalangan pelajar. Isu HAM dan SARA, Syiah, Ahmadiyah, Gereja Yasmin, mengeruhkan rupa damai Indonesia. Kita sering kali hanya reaktif terhadap fenomena, tapi tidak aktif merawat. Kita sibuk dengan urusan pribadi, seolah Indonesia bisa mengurus dirinya sendiri. Lantas ketika ada darah atau api menyeruak di suatu lokasi, barulah kita teriak, Pancasila dinodai! Indonesia butuh dirawat, bukan hanya ditilik sesekali. Apalagi dititipkan pada politisi.[3]


Sepiring Bangsa Kita
Pemuda merupakan tonggak utama negeri ini, lepas dari semua noda yang melekat pada baju putih mereka, ya noda. Semua delima negeri ini tak bisa terlepas dari hitam putih mereka, merekalah karbohidrat dalam sepiring makanan yang kita sebut sebagai Indonesia. Tak ada sepiring nasi yang lengkap tanpa lauk, sayur, dan pelengkap lainnya. Terlepas dari semua lauk pauk tersebut, tentu kita sebagai manusia yang dilahirkan di piring Indonesia tidak akan lengkap rasanya jika tanpa kehadiran “nasi”. Tentu saja hal tersebut menjadikan pemuda berada pada puncak perubahan dan perpecahan Bangsa Indonesia.
Dalam piring makanan tak jarang terdapat sebutir dua butir nasi yang masih berlindung dibalik kulit arinya yang keras. Menjadikan sepiring makanan berkualitas tersebut menjadi ternodai. Bagaimana tidak, katakanlah ketika kita sedang menikmati makanan tiba-tiba ada beras yang masih mentah menusuk gusi dan melukai mulut kita, tentu saja kita akan berspekulasi bahwa sepiring makanan yang kita makan tersebut tidak dimasak dengan benar, padahal hanya terdapat sebutir nasi yang kurang matang.
Nasi merupakan analogi yang saya gunakan untuk menggambarkan pemuda yang memegang kendali utama negeri ini. Dalam analogi diatas akan timbul pertanyaan tentang sebuah hal fundamental yang menjadikan sebutir nasi menjadi tidak matang dan meracuni yang lainnya. Tentulah merupakan hal yang sangat berpotensi untuk merubah pola pikir seorang pemuda menjadi sebuah “racun” bagi yang lain.
Radikalisme merupakan jawaban dari analogi diatas, radikalisme menjadi racun nyata bagi narasi kesatuan Bangsa Indonesia. Dalam KBBI edisi kedua disebutkan bahwa radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Dalam pengertian sederhana akan menjadi paham yang menjadikan seorang pemuda lebih mementingkan ego yanag mereka “tuhankan” dibandingkan kepentingan yang harusnya lebih menjadi prioritas mereka.
Sebuah Noda
Dewasa ini kita sering sekali disuguhi berbagai banyak wujud radikalisme, terutama dari dalam ideologi keagamaan Islam (mengingat islam merupakan 90% ideologi bangsa Indonesia). Jika ingatan kita tentang radikalisme hanya sebuah bayangan kekerasan yang akhir-akhir ini mendominasi wacana pemahaman tentang Islam, maka sepertinya kita harus mengkaji ulang mengenai arti dan makna radikalisme. Selama ini segala kejadian terkait terorisme seperti bom bunuh diri, peledakan tempat-tempat hiburan maupun pusat bisnis pemerintahan selalu menyisakan kesimpulan tentang betapa tidak beradabnya orang-orang yang mengaku beragama Islam dan menuhankan kekerasan sebagai cara mencapai tujuan. Ekspose media yang sering mempertontonkan massa beratribut Islam disertai acungan senjata tajam turut membentuk “mindstream” sebagian masyarakat tentang Islam dan kekerasan. Bahkan dewasa ini kita kerap disuguhkan wacana bahwa setiap organisasi islam entah besar atau kecil, entah masyarakat kampung hingga sekolah sering kali mendapat tuduhan bahwa mereka menaungi para “calon” teroris masa depan.
Gerakan agama dengan menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuan yang tidak pernah dikomunikasikan itu, lantas diidentikkan dengan radikalisme Islam. Sehingga hal-hal yang berbau Islam menjadi phobia dan membuat banyak orang menjadi paranoid. Bagi kebanyakan umat Islam lain, hal ini menyisakan dilema. Satu sisi kita ingin menghapus kesan ekstrim dan penuh darah, di sisi lain, kita hanya bisa menduga-duga apa sesungguhnya keinginan para pelaku tindak kekerasan tersebut. Jika dilihat dari modusnya, pengusung kekerasan ini jelas tidak menyisakan ruang untuk mendialogkan gerakan mereka. Kalaupun ada, sepertinya susah untuk dipertemukan.
Lantas apa yang bisa dilakukan kalangan Islam lain yang ‘tidak radikal’agar tidak terjebak pada konotasi makna yang sangat bias dan merugikan kalangan Islam, terutama Islam yang memilih jalan damai sebagai ekspresi beragamanya?



[1]Parakitri. T. Simbolon.  2007. Menjadi Indonesia. Jakarta: Gramedia. Hal. 252.
[2]Daniel Dakhidae. 2010. Elegia Pusat yang Terpinggirkan. Jakarta: Jurnal Prisma
[3]http://lembar-nanabilala.blogspot.com/search/label/Ujung%20Pena

0 comments:

Post a Comment

Hospes Libro