“Duhai betapa dunia akan bermuram durja,
Bila tak engkau Pernah berkunjung ke rumah seorang kekasih, Dan memiliki
seorang kekasih untuk menghibur”
Pada suatu malam kita
bertemu, pada sebuah gubuk kecil disamping danau kunang-kunang. Kita saling
memandang pada dunia yang jauh dibawah horizon, seolah kamu dan aku telah terpisah
oleh ruang yang tak kunjung menyempit. Kita seolah tahu dimana keabadian itu,
tempat hati dan jiwa kita terbaring. Aku sadar aku mencintaimu. Bukan aku
menyesal karena mencintaimu, aku hanya sedih, aku tak punya jawaban itu.
Aku laksana singa yang mencari
mangsa di padang belantara, diantara binatang-binatang liar. Aku menjelajah mencari
kebahagian yang hilang bersama roda zaman yang tak kembali. Kekayaan mungkin
adalah buah segar nan menyegarkan dari surga yang dilimpahkan diatas hamparan
keringnya padang gurun dunia. Namun apalah arti kekayaan jika Cinta yang
menyebabkan aku merindu tak kumiliki. Walaupun emas, permata, intan, dan
berlian bergelimang, namun semua itu sia-sia.
Bukan pada dunia ini aku hidup,
hidupku tertulis sebagai rangkaian kausa yang saling menjadikan dalam
kesempurnaan mimpi yang tak kunjung menjadi nyata. Wahai yang tercinta,
kalaulah jadi harapku adalah kesempurnaanmu, pastilah engkau hanya ada dalam
anganku. Bukan aku tak mencintaimu, aku hanya takut pada kenyataan dalam mimpiku yang tak kunjung menyadarkan, memandang tikar-tikar kusut
dunia.
Senja, sebelum datang berjumpa pada
Fajar, dan Fajar sebelum kembali terlelap bersama Senja. Siang malam, tinggi
rendah, hidup mati, adalah kekasih, kekasih dalam perbedaan yang alam
anugerahkan pada jiwa yang berfikir, selalu hadir melengkapi, saling mengisi,
dan meniadakan.
Setiap malam dalam mimpiku tanpa
sadar aku selalu berdoa untuk ketidak sempurnaan, ketidak sempurnaan seorang
kekasih yang tidak tertidur dalam mimpi yang melalaikan. Bagiku, kamu tak lain adalah rahasia dunia yang tersimpan rapat, tersimpan rapat dalam
angan hati seorang kekasih yang sedang merindu.
Nyala kunang menghampiri kita yang
sedang diam, menyorot dari gelapnya ruang yang menyesakkan, seolah berbisik
pada kita, “aku dan kamu tak mungkin bersama selamanya”. Sudut kehidupan kita
yang tajam seoalah terbit dari bawah horizon, bersama ketidak-pastian zaman
yang merangkul diantara kita.
Malam itu kamu menggenggam
tanganku seolah tahu kepastian roda zaman yang akan mengukirkan kenangan manis
kita, disamping danau kunang-kunang kamu berbisik: “A faint clap of thunder, clouded skies, perhaps rain and thunder comes.
If so, will you stay here by my side?”
Dan benar saja, fajar terbit
bersama dunia yang membentang luas, menghapuskan kesempurnaanmu dalam anganku. semua yang tersisa hanyalah pesonamu, pesona
dari jiwa yang selalu kuingin tahu, Siapakah?
“Berlalu masa, saat orang orang meminta
pertolongan padaku. Dan sekarang, adakah seorang penolong yang akan mengabarkan
rahasia jiwaku pada cintaku? Wahai cinta telah membuatku lemah tak berdaya.
Laksana air yang menetes diatas bebatuan, seiring waktu terus berlalu dan
bebatuan itu akan hancur, berserak bagai pecahan kaca. Begitulah cinta yang
engkau bawa kepadaku.”
0 comments:
Post a Comment