Menulis tentang
perempuan bisa dimulai dan diakhiri di mana saja. Kali ini, saya ingin menulis
dengan bebas, memilih perspektif saya sendiri. Berangkat dari persoalan dasar
dan laten...
Saya awali dengan sebuah cuplikan dialog dari
film Iron Lady yang sudah diterjemahkan, diambil dari scene ketika Tatcher
dilamar oleh Denis, suaminya.
Denis: Apa?
Margaret: aku sangat mencintaimu tetapi .. Aku tidak akan pernah bisa menjadi salah satu dari wanita itu Denis, yang selalu diam dan bersikap manis di sisi suami mereka atau terpisah dan sendirian di dalam dapur mencuci apapun yang ada disana. Kita akan mendapat bantuan untuk itu. Tidak.. Hidup seseorang haruslah bermanfaat Denis. Lebih dari memasak dan bersih-bersih dan anak-anak, hidup seseorang haruslah lebih berarti daripada itu saja. Aku tidak mau mati mencuci sebuah cangkir teh . Aku serius Denis. katakan kau mengerti.
Denis: Karena itulah aku ingin menikahimu, sayangku.
Percakapan di atas, pertama-tama, mengantarkan kita pada persoalan
abadi dalam gender, yakni publik dan domestik. Dikotomi dua ranah itu adalah
niscaya. Tapi, dalam gender, problematika utama adalah ketidaksetaraan. Gender
differences dimaklumi, tapi gender inequalities itu
tidak manusiawi.
Sejak dahulu, saya hafal betul kalau perbedaan jenis kelamin
termasuk dalam perbedaan horizontal dalam masyarakat, alias diferensiasi. Nah,
ada yang aneh ketika posisi laki-laki dan perempuan menjadi asimetris, seperti
bergeser pada pola stratifikasi. Stratifikasi terbentuk disebabkan oleh suatu
hal yang dianggap berharga dalam masyarakat. Misal, kaya-miskin yang membedakan
keduanya adalah harta, di antara pintar-bodoh adalah ilmu, dan sebagainya.
Maka, apa yang dianggap berharga oleh laki-laki dan perempuan sehingga
diperebutkan? Dugaan saya, peran publik.
Diskusi mengenai boleh tidaknya perempuan berperan di ruang publik
sudah ditarik ke mana-mana, antara lain, agama menjadi pemainnya. Dalam Islam,
misal, perempuan memperoleh waris separuh dari jatah laki-laki. Konon, sebab
laki-laki yang lebih membutukan, ia menjadi pemimpin keluarga yang menanggung
sejumlah kepala. Sementara, harta perempuan adalah hartanya sendiri, tidak
menanggung nafkah. Tetapi, di sisi lain, ada juga dasar yang membolehkan
perempuan tampil mempublik, seperti kepemimpinan Aisyah yang masyhur dalam
perang Jamal. Meskipun akhirnya contoh ini tetap khilafiyah karena
terjadi pada zaman pasca Nabi.
Ada satu pelajaran dari almarhumah bu Lilik Zakiyah Munir yang
senantiasa terngiang. Kata beliau, salah satu bentuk jihad yang masih relevan
saat ini adalah memerangi kemiskinan, di antaranya modus pemiskinan terhadap
perempuan. Kalau perempuan tidak diperbolehkan bekerja, ia tidak mendapat
penghasilan. Dengan begitu, hidupnya dibikin tergantung terhadap suami. Maka,
praktik dominasi, ketidaksetraan, alih-alih kekerasan, berpotensi terjadi.
Tidak semua lelaki mujur untuk memenuhi nafkah keluarga. Yang
menarik, “Iya, kalau suaminya umurnya panjang. Kalau tidak? Perempuan itu akan
jadi janda miskin,” kira-kira begitu ungkapnya. Maka, bekerja dan memiliki
harta adalah hak asasi. Perempuan bekerja paling tidak untuk menyelamatkan
dirinya dan anak-anaknya dari kemungkinan terburuk. Jika sewaktu-waktu Ayah
meninggal, Ibu masih memiliki ceruk untuk makan dan pendidikan anak-anak.
Sampai di sini, ruang publik dikesankan sebagai sumber kehidupan
materi keluarga. Di sana, uang bersirkulasi, pindah dari brangkas ke dompet
kulit hitam lalu ke dompet pink berbunga, dari pasar ke bandar, dari pengemis
ke warung rokok.
Sejatinya, ruang publik lebih dilematis dari persoalan uang. Ruang
publik merupakan ruang abstrak yang menampung ekspresi, pikiran, opini, dan
keluh-kesah manusia, lantas dipertukarkan satu dengan lainnya membentuk
turbulensi wacana yang sama sekali baru.Kebutuhan perempuan di ruang publik, di
antaranya, yaitu kebutuhan untuk berekspresi. Setiap orang berhak untuk
bercita-cita dan menggapainya.
Seorang teman asal Cilacap berkisah, tetangganya sebal sekali
dengan istrinya yang tidak mau bekerja dan hanya menuntut harus terpenuhi
keinginannya. Kadang, perempuan sendiri yang belum mau bergerak dari dapur dan
kamar.
Menjadi ibu rumah tangga atau wanita karier itu pilihan, asal
dilakukan dengan sadar. Perempuan mesti punya dasar mengapa ia menjadi ibu
rumah tangga, bukan karena represi budaya patriarkal. Mengapa ia bekerja bukan
karena latah modernitas. Tapi ia mesti bisa menentukan standpoint terhadap
segala-gala yang ia putuskan.
Dalam perspektif feminisme, karena datang dari tradisi kritis,
relasi perempuan-lelaki dalam pernikahan seringkali dipandang dengan letih dan
pesimistis. Bahwa lembaga pernikahan hanya akan membatasi ruang gerak
perempuan, mengurungnya selamanya dalam rutinitas membosankan rumah
tangga. Itu sebabnya, sejumlah feminis perempuan memutuskan tidak
menikah, kuatir terjebak dalam lingkaran setan.
Bagi mereka yang percaya pada lembaga pernikahan, tuduhan kaum
feminis-lajang memang tak bisa terhindarkan. Pernikahan tidak selalu indah di
setiap detiknya. Persoalan kuasa dalam keluarga, tuntutan ekonomi, anak-anak,
orang ketiga, itu menunjukkan bahwa problem bisa menghampiri dari arah mana
saja. Pernikahan menjadi indah juga bukan lantaran seks belaka. Coba tanya pada
sepasang kakek nenek yang masih tampak bahagia dengan pernikahan mereka,
kebahagiaan itu tersusun bukan dari hal seperti cita-cita yang besar, melainkan
kejadian-kejadian kecil dan detail yang sangat jujur mengungkap cinta di antara
keduanya.
Relasi laki-laki dan perempuan sebagian besar porsinya dipelajari
dengan pengalaman. Nasihat hanya akan benar jika muncul sebagai memori di waktu
yang tepat.
Kesalahan Margaret
Ranah domestik isinya cuma dua, dapur dan anak-anak. Kalau
perempuan bekerja, biasanya ada pertanyaan klasik yang muncul, siapa yang
mengurus rumah dan anak-anak? Jawaban Margaret Tatcher sangat tegas dalam hal
ini, bahwa hidupnya harus lebih bermanfaat daripada mencuci cangkir dan merawat
anak. Dengan asumsi bahwa mengurus rumah dan anak adalah sepaket, maka
pilihannya menjadi kaku, mengurus keduanya atau meninggalkannya sama sekali.
Dengan begitu, solusinya juga sepaket, urusan rumah tangga dan anak diserahkan
pada khadam atau pembantu.
Kalau memang ogah mencuci, mengepel, menguras, memasak, mengurus
kebun, bolehlah persoalan-persoalan itu dilimpahkan pada orang kepercayaan.
Tapi bisakah persoalan anak dipercayakan pada khadam? Kalau soal mengganti
popok, memandikan, membuat bubur, masih bisa ditoleransi. Tapi mengajarinya
berpikir, bicara, dan bersikap, relakah anak dibentuk orang lain? Mencuci dan
anak adalah dua hal yang sama sekali berbeda, itulah kesalahan Margaret.
Saya jadi teringat, beberapa hari lampau seorang teman seasrama
bercerita tentang Thomas Alfa Edison yang ketika elementary school dikeluarkan
dari sekolah karena tidak bisa mengikuti perkembangan teman-temanya untuk
belajar membaca dan pelajaran dasar lainnya. Maka, Ibu Edison mengajarinya
membaca dengan tekun di rumah. Bayangkan saja kalau Ibu Edison mengabaikan
pendidikan Edison untuk pekerjaannya, niscaya dunia ini senantiasa gelap karena
Edison tidak jadi menemukan lampu pijar. Tapi semesta berkehendak dengan
perspektif yang berbeda dalam pemilihan Margaret Tatcher sebagai Perdana
Menteri perempuan pertama di Inggris. Ia sukses dalam berkarier, anak-anaknya
juga relatif baik meskipun tidak segemilang ibunya.
Mencari contoh yang paling buruk sampai paling sukses perihal
peran perempuan di sektor publik bukan hal sulit, jawaban-jawaban itu
bertebaran di sekitar kita. Sesuatu yang sangat bergantung pada kondisi bisa
menghasilkan dampak yang saling bertolak belakang, bagi saya, tak bisa ditarik
ketentuan yang pasti apalagi secara universal. Bagi saya, perempuan bekerja
atau tidak statusnya adalah pilihan dengan pelbagai risiko dan kemanfaatan.
Mendidik anak adalah kodrat (siapapun boleh tak sepakat) yang tak
bisa ditinggalkan sejak seorang perempuan hamil, melahirkan, dan menyusui. Juga
bagi lelaki, sejak istrinya mengalami hal-hal tadi. Itu adalah risiko jangka
panjang yang harus ditanggung. Dalam kehidupan modern, kewajiban mendidik anak
bergeser pada kewajiban menyekolahkan. Orang tua menyerahkan sepenuhnya
pendidikan anak pada sekolah, madrasah, pesantren, bimbel, dan perguruan tinggi
sehingga anak merasa hanya di sekolah dan pada guru mereka belajar. Ini yang
terjadi pada saya dan banyak orang di generasi ini, lebihngandel guru
daripada orang tua. Lebih dekat dengan orang-orang di luar rumah.
Kalau mau berpikir agak ekstrem, sebenarnya sekolah itu tidak
perlu ada andai ayah dan ibu menjadwalkan diri mendidik anak-anaknya. Kata
Nabi, al-ummu madrasah, lantas diteruskan oleh teman saya, wal
abu mudiiruha. Ia bercerita lagi, itulah mengapa keluarga Yahudi mempunyai
ajaran bahwa yang harus pintar itu Ibu untuk mendidik anak, Ayah bertugas
menjamin keberlangsungan hidup keluarga.
Saya sepakat bahwa perempuan boleh bekerja, meski tidak harus.
Tapi baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kewajiban untuk mendidik anak
berbarengan dengan kewajiban terhadap pekerjaan mereka. Tidak harus model
homeschooling, yang penting ada jam belajar bersama orang tua yang lantas
anak-anak merasa bahwa orang tua peduli dengan alam pikir mereka. Ini penting
agar orang tua tidak kehilangan peran di mata dan hati anak-anak.
Being for whom?
Keberadaan manusia, di antaranya, diukur dari nilai keberadaannya
bagi manusia lain tanpa menganggu kemerdekaannya. Perempuan ada untuk dirinya
sendiri, membangkitkan segala-gala yang ada pada nuraninya. Perempuan ada untuk
melahirkan peradaban dunia dengan semua-mua yang ia bisa.
0 comments:
Post a Comment