Kita
bercengkerama dalam tiga hal, masa lalu, kini dan
depan. Suatu sore kita berteduh dari guyuran hujan di tengah perjalanan
menyusuri sungai. Ditemani rintik hujan yang ritmis, aku terdorong
memantik pembicaraan
tentang yang sudah terlewat, tentang bagian dirimu sebelum aku datang.
Masa adalah jarak. Ketika kita membicarakan masa lalu,
rasanya wajahmu menjauh puluhan meter. Suaramu dan suaraku tertelan keriuhan
zaman. Di mataku, masa lalumu adalah ilusi. Serupa dongeng sebelum tidur yang
diam-diam tertanam kuat dalam alam bawah sadar.
Tiap kali tabir masa lalu terbuka, seperti ada gulungan
ombak yang siap menenggalamkanku hidup-hidup. Sebenarnya aku bisa saja tak
peduli pada masa lalumu. Tapi kalau aku benar mencintaimu, aku harus menyiapkan
dada yang lapang untuk menerima sepenuhnya dirimu, termasuk masa lalumu.
Ada guntur yang menyambar jika potret indah masa lalumu
datang sedetik-sedetik bersama kilat. Masa lalu bukan hanya tentang siapa yang
datang sebelum aku, tapi juga bagaimana senimu melukis dinding-dinding
kehidupanmu. Gambaran khas remajamu terpancar jelas, anggun dan menawan.
Sebagian dari masa lalu barangkali adalah kesalahan. Setiap
orang yang datang sebelum kamu, pada zaman ini, merupakan cinta yang salah.
Dalam masa ini, kamu adalah cinta yang benar, meski tidak menutup kemungkinan
juga akan menjadi kesalahan. Kesalahan itu pahit didengar, ngilu sekujur tubuh
merasakannya. Sendi-sendi tubuhku menguatkanku bahwa kini kamu lah kenyataan,
mengesampingkan benar atau salah.
“Bukan aku tak mau membagi masa laluku padamu. Hanya saja,
jika lantas kamu diam usai mendengarkan, itu yang membuatku keberatan. Aku
keberatan melihatmu gelisah pada masa lalu yang kini hanya ilusi,” seluruh
tubuhmu berbahasa kepadaku.
Aku dan kamu sama dalam menyikapi masa lalu. Tak ada yang dibuang, dibakar, dihapus. Semuanya dibiarkan saja hidup dalam masa lalu. Membuang, membakar, menghapus adalah perbuatan tidak jujur pada diri sendiri. Semakin usaha-usaha itu dilakukan menunjukkan betapa lemahnya kita menghadapi masa yang tak akan kembali.
Waktu tak akan kembali beserta segala yang terjadi. Karena
itu, masa lalu tidak patut ditakuti. Berdamai saja dengan masa lalu sebab roda
zaman menjadikan pahit menjadi tawar. Tapi ia memoles yang indah menjadi
semakin berkesan.
“Masa lalumu tak bisa kuhapus, kenangan itu punya hak untuk
hidup. Demikian pula masa laluku. Waktu
hanya bisa lewat, ia tak bisa dibunuh,” aku memecah keheningan.
Seteguk demi seteguk cokelat panas melelehkan kepahitan yang
menyumbat tenggorokan, meluruhkan kebekuan hawa. Masa lalu adalah tegukan
cokelat yang telah tertelan. Sisa cokelat yang tinggal separuh cangkir itu
adalah masa depan yang menunggu dinikmati. Dinginnya udara di bawah hujan
sungguh tak mengurangi kehangatan senyummu dan kalimat-kalimatmu yang
melapangkan. Kamu adalah seduhan cokelatku yang mencampur pahit dan manis
menjadi kenikmatan yang senantiasa disyukuri.
“Hujan sudah lumayan reda, Sayang. Ujung sungai ini masih
jauh. Kita berlomba dengan matahari. Mari, kita susuri selagi bisa. Nanti kita
akan tahu apa yang kita temukan saat sampai di sana,” kita lekas beranjak
meninggalkan butir-butir hujan yang kini menggenangi alas kaki.
0 comments:
Post a Comment