Kita
bercengkerama dalam tiga hal, masa lalu, kini dan
depan. Suatu sore kita berteduh dari guyuran hujan di tengah perjalanan
menyusuri sungai. Ditemani rintik hujan yang ritmis, aku terdorong
memantik pembicaraan
tentang yang sudah terlewat, tentang bagian dirimu sebelum aku datang.
Masa adalah jarak. Ketika kita membicarakan masa lalu,
rasanya wajahmu menjauh puluhan meter. Suaramu dan suaraku tertelan keriuhan
zaman. Di mataku, masa lalumu adalah ilusi. Serupa dongeng sebelum tidur yang
diam-diam tertanam kuat dalam alam bawah sadar.
Tiap kali tabir masa lalu terbuka, seperti ada gulungan
ombak yang siap menenggalamkanku hidup-hidup. Sebenarnya aku bisa saja tak
peduli pada masa lalumu. Tapi kalau aku benar mencintaimu, aku harus menyiapkan
dada yang lapang untuk menerima sepenuhnya dirimu, termasuk masa lalumu.